BIOGRAFI
ALI AKBAR NAVIS
Nama
Lengkap : Ali Akbar Navis
Alias : AA Navis | Sang Pencemooh
Kategori : Humaniora
Agama : Islam
Tempat Lahir : Padang, Sumatera Barat
Tanggal Lahir : Senin, 17 November 1924
Zodiac : Scorpion
Hobby :
Warga Negara : Indonesia
Istri : Aksari Yasin
Anak : Dini Akbari,Lusi Bebasari,Dedi Andika,Lenggogini,Gemala Ranti,Rinto Amanda,Rika Anggraini
Alias : AA Navis | Sang Pencemooh
Kategori : Humaniora
Agama : Islam
Tempat Lahir : Padang, Sumatera Barat
Tanggal Lahir : Senin, 17 November 1924
Zodiac : Scorpion
Hobby :
Warga Negara : Indonesia
Istri : Aksari Yasin
Anak : Dini Akbari,Lusi Bebasari,Dedi Andika,Lenggogini,Gemala Ranti,Rinto Amanda,Rika Anggraini
A.A. Navis
Haji Ali Akbar Navis (lahir di Kampung Jawa, Padang, Sumatera Barat, 17 November 1924 – meninggal 22 Maret 2003 pada umur 78 tahun) adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama A.A. Navis. Ia menjadikan
menulis sebagai alat dalam kehidupannya. Karyanya yang terkenal adalah cerita
pendek Robohnya Surau Kami. Navis 'Sang Pencemooh' adalah sosok yang
ceplas-ceplos, apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap
pribadi, agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam
dan yang putih itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para koruptor. Pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya
dalam kehidupan tapi jika dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk
menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu resikonya, mungkin dalam tiga bulan,
ia justru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu.
Kehidupan Pribadi
Dunia sastra Indonesia kehilangan salah seorang sastrawan besar. Navis
telah lama mengidap komplikasi jantung, asma dan diabetes. Dua hari sebelum
meninggal dunia, ia masih meminta puterinya untuk membalas surat kepada Kongres Budaya Padang bahwa dia tidak dbisa ikut Kongres di Bali. Serta minta dikirimkan surat balasan bersedia untuk
mencetak cerpen terakhir kepada Balai Pustaka. Ia meninggalkan satu orang isteri, Aksari Yasin, yang
dinikahi tahun 1957 dan tujuh orang anak yakni; Dini Akbari, Lusi Bebasari,
Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini, serta
13 cucu. Ia dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tunggul Hitam, Padang.
Sebelum dikebumikan, sejumlah tokoh, budayawan, seniman, pejabat,
akademikus, dan masyarakat umum melayat ke rumah duka di Jalan Bengkuang Nomor
5, Padang. Di antaranya; Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah A Syafii Maarif, Gubernur Sumbar Zainal Bakar, mantan Menteri Agama Tarmizi Taher, dan mantan Gubernur Sumbar Hasan Basri Durin, serta penyair Rusli Marzuki
Saria.
Nama pria Minang yang untuk terkenal tidak harus merantau secara fisik, ini
menjulang dalam sastra Indonesia sejak cerpennya yang fenomenal, Robohnya
Surau Kami, terpilih menjadi satu dari tiga cerpen terbaik majalah sastra Kisah, (1955). Sebuah cerpen yang dinilai sangat berani. Kisah yang
menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana seorang alim justru dimasukkan
ke dalam neraka. Karena dengan kealimannya, orang itu melalaikan pekerjaan
dunia sehingga tetap menjadi miskin.
Ia seorang seniman yang perspektif pemikirannya jauh ke depan. Karyanya
Robohnya Surau Kami, juga mencerminkan perspektif pemikiran ini. Yang roboh itu
bukan dalam pengertian fisik, tapi tata nilai. Hal yang terjadi saat ini di
negeri ini. Ia memang sosok budayawan besar, kreatif, produktif, konsisten dan
jujur pada dirinya sendiri.
Sepanjang hidupnya, ia telah melahirkan sejumlah karya monumental dalam
lingkup kebudayaan dan kesenian. Ia bahkan telah menjadi guru bagi banyak
sastrawan. Ia seorang sastrawan intelektual yang telah banyak menyampaikan
pemikiran-pemikiran di pentas nasional dan internasional. Ia menulis berbagai
hal. Walaupun karya sastralah yang paling banyak digelutinya. Karyanya sudah
ratusan, mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita anak-anak, sandiwara radio,
esai mengenai masalah sosial budaya, hingga penulisan otobiografi dan biografi.
Buah karya
Ia yang mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian dari media
cetak sekitar 1955, itu telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam
berbagai bentuk. Ia telah menulis 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya, dan delapan antologi luar
negeri, serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di
dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang
Jalan. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2002.
Beberapa karyanya yang amat terkenal adalah:
- Surau Kami (1955)
- Bianglala (1963)
- Hujan Panas (1964)
- Kemarau (1967)
- Saraswati
- Si Gadis dalam Sunyi (1970)
- Dermaga dengan Empat Sekoci (1975)
- Di Lintasan Mendung (1983)
- Dialektika Minangkabau (editor, 1983)
- Alam Terkembang Jadi Guru (1984)
- Hujan Panas dan Kabut Musim (1990)
- Cerita Rakyat Sumbar (1994)
- Jodoh (1998)
Sebagai seorang penulis, ia tak pernah merasa tua. Pada usia gaek ia masih
saja menulis. Buku terakhirnya, berjudul Jodoh, diterbitkan oleh
Grasindo, Jakarta atas kerjasama Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, sebagai kado
ulang tahun pada saat usianya genap 75 tahun. Jodoh berisi sepuluh buah
cerpen yang ditulisnya sendiri, yakni Jodoh (cerpen pemenang pertama
sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldemroep, 1975), Cerita 3 Malam, Kisah Seorang Hero, Cina
Buta, Perebutan, Kawin (cerpen pemenang majalah Femina, 1979), Kisah Seorang Pengantin, Maria, Nora,
dan Ibu. Ada yang ditulis tahun 1990-an, dan ada yang ditulis tahun
1950-an.
Padahal menulis bukanlah pekerjaan mudah, tapi memerlukan energi pemikiran
serius dan santai. "Tidak semua gagasan dapat diimplementasikan dalam
sebuah tulisan, dan bahkan kadang-kadang memerlukan waktu 20 tahun untuk
melahirkan sebuah tulisan. Kendati demikian, ada juga tulisan yang dapat
diselesaikan dalam waktu sehari saja. Namun, semua itu harus dilaksanakan dengan
tekun tanpa harus putus asa. Saya merasa tidak pernah tua dalam menulis segala
sesuatu termasuk cerpen," katanya dalam suatu diskusi di Jakarta.
Kiat menulis itu, menurutnya, adalah aktivitas menulis itu terus dilakukan,
karena menulis itu sendiri harus dijadikan kebiasaan dan kebutuhan dalam
kehidupan. Ia sendiri memang terus menulis, sepanjang hidup, sampai tua.
Mengapa? "Soalnya, senjata saya hanya menulis," katanya. Baginya,
menulis adalah salah satu alat dalam kehidupannya. "Menulis itu alat, bukan
pula alat pokok untuk mencetuskan ideologi saya. Jadi waktu ada mood menulis
novel, menulis novel. Ada mood menulis cerpen, ya menulis cerpen," katanya
seperti dikutip Kompas, Minggu, 7
Desember 1997.
Dalam setiap tulisan, menurutnya, permasalahan yang dijadikan topik
pembahasan harus diketengahkan dengan bahasa menarik dan pemilihan kata
selektif, sehingga pembaca tertarik untuk membacanya. Selain itu, persoalan
yang tidak kalah pentingnya bagi seorang penulis adalah bahwa penulis dan
pembaca memiliki pengetahuan yang tidak berbeda. Jadi pembaca atau calon pembaca
yang menjadi sasaran penulis, bukan kelompok orang yang bodoh.
Pandangan-pandangan
A.A. Navis
Ia menyinggung tentang karya sastra yang baik. Yang terpenting bagi seorang
sastrawan, menurutnya, karyanya awet atau tidak? Ada karya yang bagus, tapi
seperti kereta api; lewat saja. Itu banyak dan di mana-mana terjadi. Ia sendiri
mengaku menulis dengan satu visi. Ia bukan mencari ketenaran.
Dalam konteks ini, ia amat merisaukan pendidikan nasional saat ini. Dari SD
sampai perguruan
tinggi, orang hanya
boleh menerima, tidak diajarkan mengemukakan pikiran. Anak-anak tidak diajarkan
pandai menulis oleh karena menulis itu membuka pikiran. Anak-anak tidak
diajarkan membaca karena membaca itu memberikan anak-anak
perbandingan-perbandingan. Di perguruan tinggi orang tidak pandai membaca,
orang tidak pandai menulis, jadi terjadi pembodohan terhadap generasi-generasi
akibat dari kekuasaan.
Jadi, menurutnya, model pendidikan sastra atau mengarang di Indonesia
sekarang merupakan strategi atau pembodohan, agar orang tidak kritis. Maka, ia
berharap, strategi pembodohan ini harus dilawan, harus diperbaiki. "Tapi
saya pikir itu kebodohan. Orang Indonesia tidak punya strategi. Strategi ekonomi
Indonesia itu apa? Strategi politik orang Indonesia itu apa? Strategi
pendidikan orang Indonesia itu apa? Strategi kebudayaan orang Indonesia itu
apa? Mau dijadikan apa bangsa kita? Kita tidak punya strategi. Oleh karena itu
kita ajak mereka supaya tidak bodoh lagi," katanya.
Maka, andai ia berkesempatan jadi menteri, ia akan memfungsikan sastra.
"Sekarang sastra itu fungsinya apa?" tanyanya lirih. Pelajaran sastra
adalah pelajaran orang berpikir kritis. Orang berpikir kritis dan orang
memahami konsep-konsep hidup. Kita baca, karya mana saja yang baik, itu berarti
menyuruh orang berpikir berbuat betul. Lalu karya-karya itu konsepnya yang
jahat lawan yang buruk. Dalam karya sastra bisa terjadi yang jahat itu yang
dimenangkan, tapi bukan artinya sastra memuja yang jahat. Ia melihat,
perkembangan sastra di Indonesia sedang macet. Banyak karya-karya sastra di
Indonesia menceritakan hal-hal orang-orang munafik. Diajarkan itu ke anak-anak
tentang orang munafik di tengah masyarakat kita yang banyak munafik. Anak-anak
kan jadi tajam. Oleh karena itu pemerintah tampaknya tidak mengajarkan sastra
supaya orang tidak melihat orang-orang yang munafik, umpamanya.
Hal ini tak terlepas dari mental korup para elit bangsa ini. Maka andai ia
diberi pilihan alat kekuasaan, atau menulis dan berbicara, yang dia pilih
adalah kekuasaan. Untuk apa? Untuk menyikat semua koruptor. Walaupun ia sadar
bahwa mungkin justeru ia yang orang pertama kali ditembak. Sebab, "semua
orang tidak suka ada orang yang menyikat koruptor," katanya seperti pesimis
tentang kekuatan pena untuk memberantas korupsi.
Perihal orang Minang, dirinya sendiri, keterlaluan kalau ada yang mengatakan
orang Minang itu pelit. Yang benar, penuh perhitungan. Sangat tak tepat
mengatakan orang Minang itu licik. Yang benar galia (galir), ibarat pepatah
"tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua" (terhimpit maunya di
atas, terkurung maunya di luar). Itulah A.A. Navis "Sang Kepala
Pencemooh".
Karya tulis
- Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis (2005)
- Gerhana: novel (2004)
- Bertanya Kerbau Pada Pedati: kumpulan cerpen (2002)
- Cerita Rakyat dari Sumatera Barat 3 (2001)
- Kabut Negeri si Dali: Kumpulan Cerpen (2001)
- Dermaga Lima Sekoci (2000)
- Jodoh: Kumpulan Cerpen (1999)
- Yang Berjalan Sepanjang Jalan (1999)
- Cerita Rakyat dari Sumatera Barat 2 (1998)
- Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang Pendidik INS Kayutanam (1996)
- Otobiografi A.A. Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah (1994)
- Surat dan Kenangan Haji (1994)
- Cerita Rakyat dari Sumatera Barat (1994)
- Hujan Panas dan Kabut Musim: Kumpulan Cerita Pendek (1990)
- Pasang Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi Hasjim Ning (1986)
- Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau (1984)
- Di Lintasan Mendung (1983)
- Dialektika Minangkabau (editor) (1983)
- Dermaga dengan Empat Sekoci: Kumpulan Puisi (1975)
- Saraswati: Si Gadis dalam Sunyi: sebuah novel (1970)
- Kemarau (1967)
- Bianglala: Kumpulan Cerita Pendek (1963)
- Hudjan Panas (1963)
- Robohnya Surau Kami (1955)
Penghargaan:
Karya
Terkenal:
Robohnya Surau Kami (1955)
Bianglala (1963)
Hujan Panas (1964)
Kemarau (1967)
Saraswati, si Gadis dalam Sunyi (1970)
Dermaga dengan Empat Sekoci (1975)
Di Lintasan Mendung (1983)
Alam Terkembang Jadi Guru (1984)
Hujan Panas dan Kabut Musim (1990)
Jodoh (1998)
Penghargaan:
Hadiah seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1988)
Lencana Kebudayaan dari Universitas Andalas Padang (1989)
Lencana Jasawan di bidang seni dan budaya dari Gubernur Sumbar (1990)
Hadiah sastra dari Mendikbud (1992)
Hadiah Sastra ASEAN/SEA Write Award (1994)
Anugerah Buku Utama dari Unesco/IKAPI (1999)
Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah RI
NB : Jika postingan ini berguna/bermanfaat untuk anda, anda juga bisa memberikan saran di postingan ini melalui kotak komentar di bawah, terimakasih :*
Robohnya Surau Kami (1955)
Bianglala (1963)
Hujan Panas (1964)
Kemarau (1967)
Saraswati, si Gadis dalam Sunyi (1970)
Dermaga dengan Empat Sekoci (1975)
Di Lintasan Mendung (1983)
Alam Terkembang Jadi Guru (1984)
Hujan Panas dan Kabut Musim (1990)
Jodoh (1998)
Penghargaan:
Hadiah seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1988)
Lencana Kebudayaan dari Universitas Andalas Padang (1989)
Lencana Jasawan di bidang seni dan budaya dari Gubernur Sumbar (1990)
Hadiah sastra dari Mendikbud (1992)
Hadiah Sastra ASEAN/SEA Write Award (1994)
Anugerah Buku Utama dari Unesco/IKAPI (1999)
Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah RI
NB : Jika postingan ini berguna/bermanfaat untuk anda, anda juga bisa memberikan saran di postingan ini melalui kotak komentar di bawah, terimakasih :*
0 komentar:
Post a Comment